Alapalapnews.com, Lumajang – 27 Oktober 2025. Pada hari kedua, kegiatan Temu Karya Serumpun 2025 berlangsung di Museum Tembakau Jember pada Minggu, 26 Oktober 2025. Kegiatan dimulai pukul 09.00 dengan berbagai rangkaian acara, mulai dari penampilan tari, sambutan, hingga sesi diskusi pakar seputar trauma kolektif dalam karya sastra yang mengundang Guru Besar Sastra Universitas Negeri Malang, Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd. dan Okky Madasari sebagai sastrawan dan sosiolog Indonesia, dan dipandu langsung oleh pendiri Komunitas Sastra Timur Jawa, Dwi Pranoto.
Peserta yang hadir berasal dari berbagai komunitas. Pada sesi pertama, Prof. Djoko Saryono membahas mengenai narasi traumatik, imajinasi lebebasan, dan sastra. Banyak pertanyaan yang muncul mengenai apa itu traumatik, imaji kebebasan, bagaimana keterkaitannya dan dari mana datangnya rasa trauma. Menurutnya, trauma datang karena adanya respon tubuh dari peristiwa buruk yang pernah dialami.
Trauma menyebabkan reaksi mental sehingga membuka luka-luka dan menimbulkan perubahan perilaku bagi seseorang. Sedangkan traumatis hadir karena adanya reaksi emosional, kengerian, dan reaksi fisikal. Banyak bentuk trauma yang dialami oleh seseorang, seperti trauma personal, kolektif, spiritual, fisikal, batiniah, dan sukmawi. Jenis trauma terbagi menjadi 8 jenis, yaitu personal, sosial (kognitif), historis, kultural dan identitas, politis (kuasa), gender-tubuh, ekologis, spiritual-kosmis. Dengan adanya alasan serta jenis trauma tersebut, Prof. Djoko Saryono memberikan solusi penyembuhan.
Penyembuhan trauma dan sastra bisa dilakukan dengan membaca, menulis, menceritakan. Sedangkan penyembuhan trauma dan imaji kebebasan bisa dilakukan dengan reklamasi kemanusiaan dan martabat manusia.
Pada sesi selanjutnya, Okky Madasari menyoroti peran sastra dalam mengungkap dan menyembuhkan trauma kolektif yang dialami masyarakat. Ia bercerita bagaimana sejarah kekerasan, kemiskinan, dan tragedi 1998 meninggalkan luka mendalam yang masih membekas hingga kini.
Okky Madasari juga menyinggung trauma yang muncul dalam konteks sosial dan religius, misalnya pada kalangan pesantren.
Menurutnya, sastrawan memiliki peran penting dalam membantu masyarakat mengenali dan memahami luka tersebut. Trauma bisa sembuh jika kita mengetahui di mana letak lukanya. Melalui menulis, kita membuka helai demi helai luka tersebut, bukan untuk mengorek, tapi sebagai proses pemulihan.
Kedua pemateri sama-sama menekankan bahwa sastra bukan hanya sekadar karya, tetapi juga media penyembuhan. Pada akhir pemaparan, Okky Madasari menegaskan bahwa keberanian untuk menulis dan mengungkap adalah langkah awal menuju penyembuhan. “Sejarah diungkap, sastra yang harus terus bercerita” ujarnya sembari menutup sesi pemaparan materi.
Menurut Siswanto, ketua panitia memaparkan bahwa diskusi pakar dibuka untuk umum “Selain penyair ASEAN, kami juga mengundang komunitas sastra, literasi, budaya, aktivis lingkungan, dan aktivis perempuan. Selain itu, kami juga didukung oleh pihak Museum Tembakau untuk bazar batik tembakau dan cerutu khass Jember, serta bazar buku dari Gramedia Jember,” pungkasnya.
(Saiful Khamisi)


