PATI, AlapalapNews.com — Suasana panas kembali melanda Desa Asempapan, Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati. Aksi demonstrasi warga yang digelar pada Kamis (6/11/2025) memunculkan gelombang kritik tajam terhadap kebijakan Kepala Desa Sukarno. Masyarakat menilai, kebijakan desa kini telah keluar dari nilai-nilai moral dan keagamaan yang menjadi jati diri Asempapan.
Puluhan warga yang tergabung dalam Forum Masyarakat Asempapan Bersatu (FMAB) berkumpul di depan Balai Desa untuk menuntut kejelasan atas kebijakan yang dinilai diskriminatif. Dalam orasi yang menggema, seorang warga menyuarakan pertanyaan yang kini menjadi simbol kekecewaan publik:
“Mengapa kegiatan keagamaan seperti khataman Qur’an di mushola dan acara haul tidak diperbolehkan atau dipersulit, padahal tempat karaoke di desa kami dibiarkan beroperasi tanpa hambatan?”

Pernyataan itu langsung disambut sorak dukungan dari peserta aksi. Bagi warga, pertanyaan tersebut bukan sekadar unek-unek, melainkan refleksi dari keresahan moral yang semakin menganga. Mereka menilai pemerintah desa sudah kehilangan arah dan tak lagi memprioritaskan nilai-nilai spiritual serta kebersamaan warga.
Menurut salah satu tokoh masyarakat, kebijakan Kepala Desa Sukarno selama ini terkesan tidak konsisten. Di satu sisi, pemerintah desa bersikap keras terhadap kegiatan keagamaan, namun di sisi lain membiarkan aktivitas hiburan malam yang berpotensi merusak citra desa.
«“Kalau kegiatan haul atau khataman saja dipersulit, tapi karaoke jalan terus, berarti ada yang salah dalam cara pandang pemimpin kita. Ini bukan lagi soal izin, tapi soal moral,” ujar seorang warga dengan nada tegas.»
Situasi ini menempatkan Kepala Desa Sukarno di posisi sulit. Warga kini mempertanyakan arah kebijakannya — apakah masih berpihak pada nilai-nilai masyarakat atau justru pada kepentingan tertentu. Desakan agar Sukarno segera memberikan penjelasan terbuka semakin kuat, apalagi banyak warga merasa selama ini aspirasi mereka diabaikan.
Koordinator FMAB, Bayu Irianto, menegaskan bahwa aksi warga bukan upaya menjatuhkan pemerintah desa, melainkan bentuk kepedulian terhadap arah moral dan sosial Asempapan.
“Kami hanya ingin kepala desa berpihak pada rakyat, bukan pada kepentingan sesaat. Jangan sampai Asempapan dikenal karena karaoke, sementara nilai-nilai keagamaannya ditinggalkan,” ujarnya.
Meski berlangsung damai, aksi tersebut menjadi simbol perlawanan moral masyarakat terhadap ketimpangan kebijakan di tingkat desa. Warga berharap pemerintah desa berhenti membuat keputusan yang memecah belah, dan kembali mengedepankan prinsip keadilan serta transparansi.
Kini, semua mata tertuju pada Kepala Desa Sukarno. Apakah ia akan menjawab kegelisahan rakyatnya dengan tindakan nyata, atau terus berdiam diri di tengah gelombang kritik yang semakin keras? Bagi warga Asempapan, jawaban itu akan menentukan arah masa depan moral dan sosial desa mereka.
(Dwi)


