SUMENEP, MADURA, AlapAlapnews– Di dusun kecil Lengkong Timur, Desa Bragung, Kecamatan Guluk-Guluk, Kabupaten Sumenep, Madura, hiduplah sepasang suami istri yang sederhana namun memiliki tekad luar biasa: Muhammad Rasyid dan Siti Badi’ah.
Keduanya adalah buruh tani yang menggantungkan seluruh hidup mereka pada cangkul, tanah, dan harapan yang disematkan dalam setiap doa.
Pendidikan formal mereka tak pernah tuntas hingga Sekolah Dasar, namun visi mereka untuk masa depan anak-anaknya melampaui batas ijazah mana pun. Bagi mereka, pendidikan adalah satu-satunya jalan keluar dari jerat kemiskinan.
“Setiap pagi, Ramah (Muhammad Rasyid) berjalan ke sawah dengan pakaian penuh lumpur. Sementara Emmak (Siti Badi’ah) menyusul dan membawakan bekal sederhana, nasi jagung, sambal terasi, dan ikan asin. Di sela kesederhanaan itu, tersimpan cita-cita besar, agar kami bisa hidup lebih baik, berdiri tegak melalui pendidikan,” ungkap Mohammad Hairul, anak sulung mereka.
Pesan yang paling mengakar di hati ketiga anaknya adalah, “Asakola pateppa’. Cokop Ramah ben Emmak se malarat alakoh e sabhe.” (Sekolah yang sungguh-sungguh. Cukup Ramah dan Emmak yang miskin bekerja di sawah). Kalimat sederhana yang diucapkan Siti Badi’ah dengan mata berkaca-kaca itu menjadi pondasi moral yang kuat, mengubah pandangan hidup keluarga.
Dari rumah berlantai tanah itu, kini lahirlah tiga anak yang menjadi bukti nyata bahwa semangat dan ilmu dapat memutus mata rantai kemiskinan. Mohammad Hairul, S.Pd., M.Pd., anak sulung, kini sedang menempuh Program Doktoral di Universitas Negeri Surabaya. Ia menjabat sebagai Kepala SMP Negeri 1 Curahdami, Bondowoso, sekaligus Instruktur Nasional Literasi.
Ahmad Riadi, S.Pd., M.H., anak kedua, aktif mengabdi di tiga ranah: sebagai guru, dosen di UNIBA Madura, dan Direktur lembaga pendidikan anak di Sumenep.
Cantika Yulia Wida Q., S.Pd., si bungsu yang baru saja menyelesaikan Sarjana Pendidikan (PGSD) di Universitas Wiraraja, kini berprofesi sebagai guru di MDT Nurul Fatah Parsanga Sumenep.
Kisah Hairul, Adi, dan Wida adalah narasi inspiratif tentang perjuangan menempuh jenjang pendidikan yang panjang, mulai dari SDN Guluk-Guluk IV hingga perguruan tinggi terkemuka. Mereka membuktikan bahwa kemiskinan tidak mesti diwariskan. Semangat, kerja keras, dan doa yang tulus untuk menuntut ilmu adalah kunci yang dapat membuka pintu kehidupan yang lebih baik.
Dari sawah yang berlumpur di Lengkong Timur, kini lahir suara-suara inspiratif di kelas, di podium, di ruang dosen, bahkan di forum nasional dan internasional. Keluarga Muhammad Rasyid dan Siti Badi’ah menegaskan bahwa pendidikan adalah hak setiap anak, termasuk anak-anak buruh tani.
Pasangan suami istri yang sederhana namun penuh sahaja, Muhammad Rasyid dan Siti Badi’ah, keduanya sudah meninggal. Namun warisan pendidikan yang dibekalkan pada ketiga anaknya menjadi penerang dan penuntun jalan yang sangat berharga.
“Ramah (Muhammad Rasyid) meninggal saat Dik Wida masih kelas 9 SMP. Sedangkan Emmak (Siti Badi’ah) meninggal saat Dik Wida baru lulus SMA. Alhamdulillah saya dan Dik Adi bisa menunaikan wasiat kedua orang tua agar Dik Wida juga bisa tuntas mengenyam pendidikan tinggi”, ungkap Hairul saat menghadiri Wisuda Sarjana adik bungsunya di Univeritas Wiraraja Sumenep (29/10/2025).


